Mesum di Tengah Hutan Lebat
Mesum di Tengah Hutan Lebat

Mesum di Tengah Hutan Lebat

Mesum di Tengah Hutan Lebat

Mesum di Tengah Hutan LebatMesum di Tengah Hutan Lebat Hubungan Panas – Awan semakin gelap, mendung yang menggantung menandakan sebentar lagi akan hujan. Pakde Karno menyuruh Susi membenahi ceret air dan rantang makanannya kemudian mereka bergegas pulang sebelum hujan turun. Susi adalah istri Maman keponakan Pakde Karno yang sejak kecil ikut Pakde-nya. Pakde Karno ini adalah kakak bapaknya yang tidak mempunyai anak sendiri.

Dan sesudah menikah pasangan itu tetap mengikuti Pakde-nya yang sangat sayang pada keponakannya. Sehari-hari mereka bahu membahu mencari sesuap nasi membantu Pakde di sawah atau Budenya yang buka warung kecil-kecilan di rumahnya. Seperti biasanya menjelang siang Susi mengantarkan makanan dan minuman Pakde-nya yang kerja di sawah. Hari itu kebetulan Maman pergi ke kota untuk membeli pupuk dan bibit tanaman.

Rupanya hujan keburu turun sementara mereka masih di tengah hamparan sawah desa yang sangat luas itu. Hujan ini luar biasa lebatnya. Disertai dengan angin yang menggoyang keras dan nyaris merubuhkan pohon-pohon di sawah hujan kali ini sungguh luar biasa besarnya. Sebagai petani yang telah terbiasa denagn kejadian semacam ini dengan enteng Pakde Karno membabat daun pisang yang lebar untuk mereka gunakan sebagai payung guna sedikit mengurangi terpaan air hujan yang jatuh di badan mereka yang menghambat pandangan mata.

Sambil memanggul cangkulnya Pakde Karno merangkul bahu Susi erat-erat agar payung daun pisangnya benar-benar bisa melindungi mereka. Susi merasakan kehangatan tubuh Pakde-nya. Demikian pula Pakde Karno merasakan kehangatan tubuh Susi yang istri keponakannya itu. Jalan pematang langsung menjadi licin sehingga mereka berdua tidak bisa bergerak cepat. Sementara pelukan mereka juga bertambah erat karena Pakde Karno khawatir Susi jatuh dari pematang. Kadang-kadang terjadi pergantian, satu saat Susi yang memeluki pinggang Pakde-nya. Tiba-tiba ada “setan lewat” yang melihat mereka dan langsung menyambar ke duanya.

Saat Pakde Karno memeluk bahu Susi tanpa sengaja beberapa kali menyentuh payudaranya. Pada awalnya hal itu tidak mempengaruhi Pakde, tetapi hawa dingin yang menyertai hujan itu ternyata mendatangkan gelisah di hatinya. Kegelisahan yang bisa merubah perasaannya. Saat pertama kali Pakde Karno tanpa sengaja menyentuh payudara istri keponakannya dia agak kaget, khawatir Susi menganggap dirinya berlaku tidak sopan.

Tetapi saat yang kedua kali dan kemudian dengan sadar menyentuhnya kembali untuk yang ketiga kalinya dia tidak melihat adanya reaksi menolak dari Susi, pikiran Pakde mulai dirasuki “setan lewat” tadi. Dan pelan-pelan tetapi pasti kontol di balik kolornya mulai menghangat dan bangun. Toh rasa ke-imanan Pakde Karno masih berusaha bilang “jangan” walaupun tak bisa dipungkiri bahwa dalam hatinya dia mengharapkan sesuatu keajaiban, mungkin semacam sinyal, yang datang dari Susi.

Demikian pula Susi yang merasakan beberapa kali payudaranya tersentuh, pada awalnya dia tidak sepenuhnya menyadari. Tetapi saat tersentuh untuk yang kedua kalinya dia mulai mengingat sentuhan yang sama yang sering dilakukan oleh suaminya Maman. Biasanya kalau Maman menyentuh macam itu pasti ada maunya. Pikiran lugu Susi langsung disambar “setan lewat” lagi. Adakah macam kemauan suaminya itu juga melanda kemauan Pakde-nya di hari hujan yang dingin ini? Tetapi sebagaimana Pakde Karno, Susi juga berusaha menepis pikiran buruknya dan berkata dalam hatinya “nggak mungkin, ah”.

Walaupun dibalik sanggahannya sendiri itu bersemi di hati kecilnya, akankah datang sebuah keajaiban yang membuat tangan Pakde-nya menyentuh payudaranya lagi? Maka, ketika pelukkan Pakde Karno pada bahu Susi yang semakin mengetat dan menyebabkan sentuhan ke tiga benar-benar hadir, hal itu sudah merupakan awal kemenangan sang “setan lewat” tadi.

Demikian pula saat hujan yang semakin deras dan jalan yang semakin licin hingga mengharuskan mereka menyesuaikan dan mengganti posisi pelukan agar tidak jatuh dari pematang, pelukan Susi dari arah punggung pada pinggang dan dada Pakde-nya mendorong lajunya bisikkan “setan lewat” tadi.

Buah dada Susi yang empuk menempel hangat di punggung dan tangan halus Susi yang menyentuh perut dan dada, membuat kontol Pakde-nya benar-benar tidak tahu diri. Keras mencuat ke depan seperti cengkal kayu yang menonjol pada sarung anak yang disunat. Untung Susi berada di belakangnya sehingga gangguan teknis itu tidak terlihat olehnya. Pakde Karno mulai mencari-cari apa jalan keluarnya?

Demikian pula yang dirasakan Susi saat memeluki Pakde-nya dari belakang. Tangannya yang ketat memeluk perut dan dada Pakde-nya membuat buah dadanya demikian gatal saat tergosok-gosok punggung Pakde yang tidak mungkin terdiam karena setiap langkah kaki Pakde-nya pasti akan menggoncang seluruh bagian-bagian tubuhnya. Kegatalan macam itu menjadi terasa nikmat saat Susi mengingat bagaimana Maman suaminya sering menggosokkan wajahnya ke payudaranya.

Mudah-mudahan Pakde-nya tidak keberatan dengan pelukannya, demikian pikiran lugu Susi. Kemudian sang “setan lewat” kembali membisikkan ke dalam pikirannya, mudah-mudahan rumahnya semakin menjauh dan hujannya semakin menderas, yang disusul dengan seringai gigi taringnya karena gembira melihat usahanya telah meraih kemenangannya secara mutlak. Sekarang tinggal menggiring Pakde dan keponakkan mantunya ini menuju ke sentuhan setannya yang terakhir.

Hujan yang demikian hebat ini membuat jam 2 siang hari bolong itu gelap serasa menjelang maghrib. Awan gelap masih memenuhi langit. Dan lebih seram lagi kilat dan petir ikut menyambar-nyambar. Pikiran Pakde Karno dan Susi sekarang adalah mencari tempat berteduh. Pakde Karno tidak kehilangan arah. Dia tahu persis kini berada di petak sawah milik Sukijann tetangganya. Kalau dia belok sedikit ke kanan dia akan menjumpai dangau untuk berteduh. Dan benar, begitu Pakde Karno yang dalam pelukan Susi belok kekanan nampak bayangan kehitaman berdiri tegak di depan jalannya. Mereka berdua memutuskan untuk berhenti dulu menunggu hujan sedikit reda.

CERITA LAINNNYA 
Desahan Gadis SMP Yang Perawan

Susi bisa menurunkan beban gendongannya ke amben bambu yang ada di situ. Kini mereka saling memandang. Susi memandang kaos oblong Pakde-nya yang basah kuyup lengket di tubuhnya dan menunjukkan bayangan dadanya yang gempal berotot. Sementara Pakde Karno melihat kebaya dan kain di tubuh Susi yang istri keponakannya basah kuyup dan membuat bayangan tubuhnya yang sintal dengan payudaranya yang menggembung ke depan. Dengan setengah mati Pakde Karno berusaha menyembunyikan tonjolan kontolnya pada celana kolornya.

Pakde Karno memperkirakan jarak dangau itu ke dusunnya kira-kira “se-udut”-an, sebuah perhitungan yang biasa dipakai orang desa mengenai jarak dekat atau jauh diukur dari sebatang rokok yang dinyalakan (dihisap). Mungkin sekitar 6 s/d 8 menit orang jalan kaki. Sementara itu tak bisa diharapkan akan ada orang lewat sawah ini dalam keadaan hujan macam begini. Pandangan mata secara jelas ke depan tidak lebih dari 5 meter, selebihnya kabut hujan yang menyelimuti seluruh hamparan sawah itu.

Dalam usaha menghindar percikan hujan di dangau Pakde Karno dan Susi harus duduk meringkuk ketengah amben yang relatip sangat sempit yang tersedia. Artinya seluruh anggota tubuh harus naik ke amben sehingga mau tidak mau mereka harus kembali berhimpitan. Dan sang “setan lewat” kembali hadir menawarkan berbagai pertimbangan dan keputusan.

Susi yang ditimpa hujan dan hawa dingin menggigil. Demikian juga Pakde Karno. Untuk menunjukkan rasa iba pada istri keponakannya Pakde meraih pundak Susi dan membagikan kehangatan tubuhnya. Dan untuk menghormati maksud baik Pakde-nya Susi menyenderkan kepalanya pada dadanya. Walaupun pakaian mereka serba basah tetapi saat tubuh-tubuh mereka nempel kehangatan itu terjadi juga. Dan pelukan yang ini sudah berbeda dengan pelukan saat awal Pakde Karno membagi payung daun pisangnya tadi. Pelukan yang sekarang ini sudah terkontaminasi secara akumulatip oleh campur tangan sang “setan lewat” tadi.

Saat kepala Susi terasa pasrah bersender pada dada, jantung Pakde karno langsung tidak berjalan normal. Dan tonjolan di celananya membuat susah memposisikan duduknya. Demikian pula bagi Susi. Saat Pakde-nya meraih bahunya untuk memberikan kehangatan pada tubuhnya dia merasakan seakan Maman yang meraihnya. Dengan wajahnya yang mendongak pasrah menatap ke wajah Pakde-nya Susi semakin menggigil hingga kedengaran giginya yang gemelutuk beradu. Dan inilah saatnya “sang setan” lewat melemparkan bisikan racunnya yang terakhir kepada Pakde Karno.

“Ambillll!, Ambill!, Ambilll!, Ambil!”, dan Pakde tahu persis maksudnya.

Seperti bunga layu yang jatuh dari tangkainya, wajah Pakde Karno langsung jatuh merunduk. Bibirnya menjemput bibir Susi yang istri keponakkannya itu. Dan desah-desah lembut dari dua insan manusia itu, membuat seluruh rasa dingin dari baju yang basah dan tiupan angin menderu akibat hujan lebat itu musnah seketika dari persada Pakde Karno maupun persada Susi.

Mereka kini saling melumat. Sang “setan lewat” cepat berlalu untuk menghadap atasannya dengan laporan bahwa otomatisasi setannya sudah ditinggal dan terpasang dalam posisi “ON” pada setiap dada korbannya. Kini dia berhak menerima bintang kehormatan para setan.

Dan lumatan lembut menjadi pagutan liar. Kini lidah dan bibir mereka saling berebut jilatan, isepan dan kecupan. Dan bukan hanya sebatas bibir. Jilatan, isepan dan kecupan itu merambah dan menghujan ke segala arah. Keduanya menggelinjang dalam gelombang dahsyat birahi. Susi menggeliatkan tubuhnya minta agar Pakde-nya cepat merangkulnya.

Pakde Karno sendiri langsung memeluki dada Susi. Wajahnya merangsek buah dadanya. Dikenyotnya baju basah penutup buah dadanya. Susi langsung mengerang keras-keras mengalahkan suara hujan. Kaki-kakinya menginjak tepian amben sebagai tumpuan untuk mengangkat-angkat pantatnya sebagai sinyal untuk Pakde-nya bahwa dia sudah menunggu tindak lanjut operasi cepat Pakde-nya.

Pakde Karno memang mau segalanya berjalan cepat. Waktu mereka tidak banyak. Segalanya harus bisa diraih sebelum hujan reda. Dan operasi ini tidak memerlukan prosedur formal. Kain penutup tubuh Susi cukup dia singkap dengan tangannya hingga ke pinggang. Memek Susi yang menggembung nampak sangat ranum dalam bayangan jembutnya yang lembut tipis. Kelentitnya nampak ngaceng mengeras menunggu lumatan lidahnya. Tak ada yang ditunggu, wajah Pakde Karno langsung merangsek ke memek ranum itu.

Bibir dan lidahnya melumat dan menghisap seluruh perangkat kemaluan itu. Tangan Susi menangkap kepala Pakdenya, menekannya agar lumatan dan jilatan Pakde-nya lebih meruyak masuk ke dalam memeknya. Cairan birahi yang asin hangat bercampur dengan air hujan dia sedot dan telan untuk membasahi kerongkongannya yang kering kehausan. Itil SUsi dia lumat dan gigit dengan sepenuh gemasnya.

Tekanan Susi pada kepalanya berubah jadi jambakkan pada rambutnya. Pantat Susi terus naik-naik menjemput bibir dan lidah Pakde-nya. Tetapi Pakde Karno tidak akan mengikuti kemauan idealnya. Hitungan waktu mundurnya sudah dimulai.

Kini Pakde Karno yang sudah meninggalkan celana kolornya di rerumputan pematang merangkak ke atas dan memeluki tubuh basah hujan Susi. Kontolnya berayun-ayun mencari sasarannya. Paha Susi yang hangat langsung menjepit tubuh Pakde-nya dengan memeknya yang tepat terarah ke ujung kontol Pakde Karno. Untuk langkah lanjutannya, mereka berdua, baik yang senior maupun yang yunior sudah terampil dengan sendirinya. Ujung kontol Pakde Karno sudah tepat berada di lubang memek istri keponakannya.

Mereka telah siap melakukan manuver akhir sambil menunggu hujan reda. Dan saat mereka saling dorong, kemaluan Pakde Karno langsung amblas ditelan memek Susi. Sambil bibir-bibir mereka saling melumat, Pakde Karno mengayun dan Susi menggoyang. Kontol dan Memek Susi bertemu dalam kehangatan seksual birahi ruang luar, ditengah derasnya hujan, tiupan angin dan kilat serta petir yang menyambar-nyambar dengan disaksikan oleh segenap dangau yang lengkap dengan berisik ambennya, oleh belalang yang ikut berteduh di atapnya, oleh kodok yang bersuka ria menyambut hujan, oleh wereng yang berlindung di daunan padi yang sedang menguning, oleh baju-baju mereka yang basah dan lengket di badan.

Pakde Karno mempercepat ayunan kontolnya pada lubang memek Susi. Walaupun dia sangat kagum sekaligus merasai nikmat yang sangat dahsyat atas penetrasi kontolnya pada lubang memek Susi yang serasa perawan itu, dia tetap “concern” dengan waktu. Susi yang menikmati legitnya kontol Pakde-nya menggelinjang dengan hebatnya. Dia juga ingin selekasnya meraih orgasmenya.

Genjotan kontol Pakde-nya yang semakin cepat pada kemaluannya mempercepat dorongan untuk orgasmenya. Kini dia merasakan segalanya telah siap berada di ujung perjalanan. Dan dengan jambakan tangannya pada rambut Pakde Karno, bak kuda betina yang lepas dari kandangnya Susi memacu seluruh saraf-saraf pekanya. Kedua kakinya dia jejakkan keras-keras pada tepian amben dangau hingga pantatnya terangkat tinggi untuk menelan seluruh batang kontol Pakde Karno dan datanglah malaikat nikmat merangkum seluruh otot, daging dan tulang belulang Susi.

Cairan birahi Surti muncrat melebihi derasnya hujan siang itu. Terus muncrat-muncrat yang diikuti dengan pantatnya yang terus naik-naik menjemputi kontol Pakde Marto yang juga terus mempercepat sodokkannya untuk mengejar kesempatan meraih orgasme secara berbarengan dengan orgasme Surti.

Dan pada saat puncratan cairan memek Susi mulai surut kontol Pakde Karno yang masih kencang mengayun memek Susi tiba-tiba berkedut keras. Kedutan besar pertama menumpahkan bermili-mili liter air mani yang kental lengket dari kantong spermanya. Dan kedutan berikutnya merupakan kedutan pengiring yang menguras habis kandungan sperma dari kantongnya. Sesaat kemudian bersamaan dengan surutnya hujan mereka berdua Pakde Karno dan Susi yang istri keponakannya terengah-engah dan rebah.

Amben dangau itu nyaris terbongkar. Bambu-bambunya ada yang lepas terjatuh. Mereka kini kegerahan dalam dinginnya sisa hujan. Keringat mereka bercucuran rancu dengan air hujan yang membasahi sebelumnya. Pakde Karno dan Susi telah meraih kepuasan yang sangat dahsyat. Pelan-pelan mereka bangkit dari amben dan turun ke pematang kembali. Susi  membetulkan letak kain dan kebayanya. Pakde Karno memakai celana kolornya yang basah jatuh di pematang dan kembali meraih cangkulnya.

Langit yang cepat cerah kembali nampak biru dengan sisa awan yang berarak menyingkir. Pohon kelapa di dusunnya nampak melambai-lambai menanti kepulangannya. Susi dan Pakde Karno yakin bahwa Bude maupun Maman pasti cemas pada mereka yang tertahan hujan ini. Pakde sudah membayangkan pasti istrinya telah memasak air untuk kopinya lengkap dengan singkong bakar kesukaannya. Dan dalam bayangan Susi, Maman pasti telah sangat merindukannya untuk bercumbu di siang hari. Suara kodok di sawah mengantarkan mereka pulang ke rumahnya.

HUBUNGAN PANAS

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *